Issue 9: Latihan melepas teman dan keringnya musik Indonesia
tentang closure yang kita buat dan lirik segar
Marsha: Temenin saya bikin closure, yuk.
Bayangin kita lagi duduk di restoran yang lumayan sepi, bebas asap rokok, terus makanannya enak dan harganya masuk akal (spesifik), terus saya tanya, “Eh, lo pernah di-ghosting, nggak?” (Ghosting: memutuskan komunikasi secara sepihak).
Terus mungkin kamu bakal bilang, “Nggak” atau “Ya elah, siapa juga sih yang nggak pernah?”
Kali ini saya mau cerita soal pengalaman saya di-ghosting sama teman yang udah kenal dari SMA. Menurut saya lebih nggak enak di-ghosting temen dibanding sama orang yang kita taksir.
Beberapa hari yang lalu, saya baru ngobrol sama temen yang nanya, “Eh, lo kapan terakhir ngobrol sama si X?”
Terus saya jadi buka WhatsApp dan ngecek. Oh, bulan Februari 2020. Lama uga.
Jadi, si X ini, dulu sempet jadi salah satu temen deket saya. Kami satu SMA, terus kuliah di kampus berbeda, tapi tetep sering ngobrol. Setiap kali dia ke Jakarta, kami sempetin untuk ketemu. Dulu sih biasanya ketemunya rame-rame, ya. Tapi lama-lama, kami jadi sering ketemuan berdua aja.
Pertemanan kami berubah bentuk. Kami jadi perlu waktu minimal tiga jam untuk ngobrol. Kami bisa ngobrol tentang apa aja, mulai dari kenapa banyak banget yang kami pelajari di kampus itu beda banget sama apa yang dihadapi di dunia kerja, nasi uduk yang lebih enak itu yang sambal kacang atau sambal tomat, sampai hal-hal personal yang bisa bikin agak mual.
Sampai tiba-tiba dia menghilang. Nggak balas WhatsApp saya waktu nyelametin ulang tahun. Nggak balas WhatsApp saya tiga bulan setelahnya, nanyain apa kabarnya. Tapi karena saya juga kalau lagi punya masalah juga kadang bisa menghilang, saya berpikir mungkin dia lagi perlu waktu sendiri dan nggak punya tenaga untuk interaksi sama saya. Jadi saya kirim pesan lagi, “Hey, I hope you’re okay. I’m here if you want to talk.”
Pesan itu saya kirim bulan Februari 2020, dan belum dibalas sampai sekarang.
Kebiasaan saya adalah mulai mengorek memori (yang tentu kurang bisa diandalkan), mencari tahu, terakhir kita ngobrol itu kapan dan bahas apa. Apakah jangan-jangan saya ngomong sesuatu yang menyinggung perasaannya? Atau apakah dia emang bilang kalau dia akan susah ngobrol lagi?
Meragukan diri sendiri itu emang gampang banget, ya.
Tapi sayangnya saya nggak ingat apa-apa. Saya cuma ingat terakhir kali kami ketemu itu waktu saya berlibur ke kota tempat dia kerja di pertengahan tahun 2019, makan seafood dan minum wine. Ngobrolnya menyenangkan dan terasa familiar, seperti biasa.
Tapi kan itu menurut saya (narator: keraguan).
Beberapa bulan sejak terakhir kali saya kirim WhatsApp, saya tanya ke temen saya yang lain, yang satu kampus sama dia, “Eh, si X apa kabar, sih?”
Kata temen saya, “Nggak tau gue, dia menghilang dari lo juga, ya? Dia juga nggak jawab-jawab WhatsApp gue.”
Saya sempet khawatir, jangan-jangan dia lagi ada masalah besar. Apalagi dia tinggal sendirian di kota itu, keluarganya semua di Jakarta.
Tapi terus saya dapat kabar bahwa dia baik-baik aja, dan masih sering ketemu sama temennya temen saya.
OK. Paling nggak dia baik-baik aja. Tapi setelah itu saya mulai bertanya-tanya, “Kenapa ya dia nggak balas WhatsApp? Apa emang udah nggak mau temenan lagi? Tapi kenapa? Saya salah apa?”
Salahmu banyak, Marsha (narator: kakaknya keraguan).
Saya sempat melewati fase ngobrol sama beberapa temen lain yang juga sedih, berspekulasi, terus bertanya-tanya, “Kenapa ya dia bener-bener ngilang? Kalau ada masalah, kenapa nggak dibahas aja sih, kita kan udah temenan dari SMA?”
Coba nebak isi kepala orang itu emang seru (kadang-kadang), tapi saya akhirnya sadar. Ya, ini sih intinya saya lagi di-ghosting aja. Apa pun alasan dia menghilang, udah bukan urusan saya lagi. Saya udah coba kontak beberapa kali dan nggak ada jawaban.
Mungkin saya nulis ini karena saya tau ini satu-satunya cara saya bisa dapat closure. Ya, namanya juga latihan melepas teman dan perasaan.
Dwitri: Musik Indonesia ngga ada yang seru?
belakangan ini gue sering nanya ke temen, musik Indonesia apa yang lagi mereka suka? ada musisi baru yang kudu didenger ngga? yang menginspirasi?
jawabannya hampir selalu berujung keheningan. atau ekspresi muka yang berusaha keras mencari jawaban tapi gagal :/ atau balik nyebutin band-band lawas. atau kesimpulan (yang mungkin malas) bahwa everything sounds the same...
gue bilang, gue ngerasa bersalah ngga punya appetite untuk explore musik Indonesia. ini agak ganggu karena selera dan nafsu ini masih kenceng banget untuk musik-musik baru dari mancanegara. daftar lagu atau band yang bisa gue rekomendasiin ngga kurang deh. K-pop to instrumental, you name it.
sedangkan musik Indonesia mainstream terasa ngikutin formula yang sama. melodi gitar mendayu-dayu yang sama, ritme mellow yang sama (miskin beat yang lebih eksperimental), diksi yang hampir identik. gue rasa Tulus dan Yura Yunita itu dua orang yang sama cuma beda gender aja.
"lagu cinta melulu" indeed.
trus juga, jarang banget ngerasa terinspirasi dari lirik lagu bahasa Indonesia. ngga tau apakah ini balik ke masalah bahasa kita yang agak-agak kaku dibikin seru? tapi jadi inget penulis Anya Rompas pernah bilang tentang kreativitas: "pake bahasa, bukan bahasa yang make lo." jadi apakah ini masalah kekeringan sastra Indonesia yang juga bikin lirik musik kita basi?
ya mungkin genre pop kita bisanya mainstream dan template aja, namanya juga populer. akhirnya memang dari musik alternatif gue nemuin beat dan lirik yang lebih kaya. lewat rap dan hip hop. belakangan yang agak seger ada Rich Brian (rap-nya dia di OST Shang-Chi sabii), Ramengvrl, dan notable mention ada Matter Mos—i think he's our Kendrick. dia nulis lirik yang bikin gue senyam senyum. yang seru bermain dengan kata-kata.
ini dari lagu Decide (tapi lagi-lagi dalam bahasa Inggris, hiks):
Eyes wide, kubrick / Shine like the movie / Direct the music / Locals with the tongue of bule
Making many many hits / Many many pacquiao / Many art different scene / Many many basquiat
the rhymes! the wordplay! sungguh gue pingin lihat yang segar kaya gini pake bahasa Indonesia.
kebanyakan minta ngga sih? gapapa kan ya. Tanggal 9 Maret kemarin Hari Musik Nasional, dan gue bosen selalu jawab album Rasuk-nya The Trees and The Wild (2009) buat jawab pertanyaan paling atas tadi.
btw umur 30 memang jebakan betmen buat stuck sama lagu yang itu-itu aja. tapi kalau bisa terus cari referensi baru, bagus efek psikologisnya, ngejaga otak kita lentur. bikin memori baru.
ini cara gue nemuin musik baru:
download app Soundhound di hape. kalo lagi di toko/kafe trus tiba-tiba denger musik enak, tinggal tap dan dia bisa deteksi otomatis penyanyi dan judul lagunya. (this app juices up my life, I find new songs from stores like Pull & Bear, juvenile taste lol.)
cari rekomendasi ke reviewer musik. bisa lewat website macam Rolling Stones, Pitchfork, Stereogum. atau di youtube banyak yutuber independen yang bedah lagu-lagu (kesukaan: Knox Hill)
atau berserah diri ikutin algoritma, pake Discover Weekly di spotify.
selamat berjelajah <3
Eh ini bener si, gw merasa kayak otak gw ga bisa menerima musik baru lagi, dan akhirnya terjebak di musik-musik 10 tahun yang lalu. Sepertinya musti agak meluangkan waktu buat ngulik spotify :)